Ini fan fiction pertama yang saya post. Jadi, mohon dimaklumi jika ada kesalahan atau keanehan dalam cerita walau memang cerita ini aneh. Happy reading ^^~
She’s Gone
SkyDragon,
Thriller, Love, Fantasi
Hafi
Ism
Lee
Chaerin as Me
Kwon
Jiyong as Jiyong
Yang
Hyunsuk as Appa
Aku yang di cermin malah mengambil handuk kecil yang tergantung di dekatnya, dan mengeringkan wajahnya. Padahal aku hanya diam.
Tangannya
menempel di muka cermin. Sementara aku hanya bengong tak mengerti, ini pasti
mimpi. Tapi entah apa, aku mencoba juga menempelkan tanganku di muka cermin,
hingga tangan kami saling bersentuhan.
…
Ada apa
ini? Kami bertukar tempat?? Apa aku berada di dalam cermin? Semua serba
terbalik disini. Aku yang di seberang sana tersenyum licik dan melangkah
mendekati pintu keluar. “Jamkaman!! K-kau mau kemana??” tanyaku panik sambil
menonton diriku yang lain. Ia hanya terus tersenyum dan mematikan lampu hingga
ruangan ini menjadi gelap, sungguh gelap. Kulihat sekilas ia berjalan keluar
pintu, dan mengunciku disini. “HYAA!!” aku menoleh ke pintu yang ada di
sampingku, di tempat yang nyata. Sial, ini juga terkunci!
Ruangan
gelap ini membuatku ketakutan. Ditambah lagi aku merasa sakit ketika aku
memukul kepalaku dengan botol shampoo. Itu artinya ini bukanlah mimpi. Tapi aku
dimana? Tak ada bayanganku di dalam cermin. Apakah aku sudah mati? Andwae! Aku
belum mau mati. Walaupun aku adalah anak angkat, walau anjing kesayanganku dari
keluarga Yang baru saja mati, walau sahabat-sahabatku sudah tak peduli denganku,
dan walau Jiyong menolak pernyataan cintaku, tetap saja aku tak mau mati!
Keluarkan aku dari sini!!.
…
“Kemarilah..”
ucap diriku yang lain dari dalam cermin. Ia sudah kembali rupanya. Aku bangkit
dari dudukku di lantai dan menghampirinya. Seketika pakaian yang kukenakan
basah dengan bercak merah. Tangan kiriku juga tiba-tiba menggenggam sebuah
pisau yang juga berlumurkan cairan merah. “A-apa ini?” gumamku ketakutan sambil
menatap diriku yang lain dengan penuh tanda tanya. Tapi diriku yang lain ini
hanya melirik ke samping kirinya, ke arah pintu. Aku juga ikut menoleh ke
samping kananku.
“Ji-jiyong..”
tanganku bergetar hebat dan kujatuhkan pisau yang kugenggam. “Apa yang telah
kau lakukan, hah?! Cepat kembalikan aku ke duniaku!!” teriakku kembali menatap
diriku di cermin. Ia pun menempelkan tangannya di cermin seperti tadi, begitu
juga aku.
Aku
terjatuh bertumpu di lantai kamar mandi rumahku. Dan sambil merangkak, aku
mendekati Jiyong yang tersungkur di dekatku dengan lumuran darah di bagian
perut kirinya. “Jiyong-ah..” panggilku pelan. “Siapa yang melakukan ini padamu?
Apa itu aku?” sambungku pada Jiyong yang masih sedikit tersadar. Ia menggigit
bibir bawahnya sambil menahan sakit. “Ani.. Bukan kau,” jawabnya sambil
tersenyum lemah. “Bagaimana bisa? Sementara aku yang memegang pisau ini! Aku
yang telah melukaimu, Jiyong! Aku!!” tangisku menarik Jiyong ke dalam
pangkuanku.
“Percayalah..
Itu bukan kau, Chaerin..” ucap Jiyong getir. Ia mengenggam erat tanganku dengan
tangannya yang bersimpuh darah. “Itu hanya mimpi burukmu..” lanjutnya berusaha
tersenyum palsu.
Sebenarnya
apa yang terjadi? Aku benar-benar tidak mengerti.
“Mianhae..
Aku menolakmu kemarin.. Aku menyukaimu, tapi aku hanya ingin melihat seberapa
besar cintamu.. Mianhae jika aku sudah menyakitimu,” ucapnya lemah. “Saranghae,
Chaerin..”
…
Aku
bersyukur Jiyong masih hidup. Ia berada di rumah sakit sekarang. Dan aku baru
saja kembali dari kantor polisi. Aku tak tahu apa yang terjadi, aku hanya tersadar
di depan cermin toilet kantor polisi. Tapi Appa bilang, “Kau ini kenapa? Jangan
memutar balikkan kenyataan, Jiyong baik-baik saja. Jangan bicara sembarangan,
Jiyong yang berusaha membunuh dirinya sendiri,” setelah aku berkata “Aku telah
berusaha membunuh Jiyong,”.
“Kenapa?
Bukankah kau benci pada Jiyong? Harusnya kau berterimakasih padaku karena sudah
membelamu, jika tidak, mungkin kau berada di sel penjara sekarang,” ucap wanita
yang bicara dengan nada licik di dalam cermin. Kami bertemu lagi di kamar mandi
rumahku. “Bukankah kau pernah bilang, ‘andai saja aku tak mengenal namja sialan
itu, aku tak akan terus mengunci diriku di dalam kamar seperti ini’? Aku sudah
mengatakan itu padanya, pada namja sialan itu. Ia harus merasakan penderitaanmu
juga, dan ini pantas untuknya. Berada di rumah sakit, haha,”
“Kubunuh
kau..” ucapku kali ini dengan sadar. Aku mengepal erat tangan kananku dan
bersiap. “Arrayo, mari kita coba,” sahutnya dan tiba-tiba menghilang dari dalam
cermin. “Dimana kau? Jangan melakukan hal licik!” gerutuku mencari-carinya di
dalam cermin.
Seseorang
menepuk bahuku. Dan itu adalah diriku sendiri yang kini berada dalam satu
ruangan denganku. “Jika kau mati, aku akan menjadi Lee Chaerin dengan nyata,
kehidupanmu akan jadi milikku,” ucap kembaranku ini. “Jika kau yang mati?”
tanyaku sambil melepas jaket yang kupakai. “Kau tetaplah kau,” jawabnya.
Bugh!
Aku
memukul wajahnya tanpa basa-basi. “Asal kau tahu,” ucapnya sambil mengusap
darah yang mengalir dari mulutnya. “Jiyong akan segera tiba disini,” lanjutnya
dan hendak memukulku, aku menghindar.
Kami
berkelahi sangat sengit. Berkali-kali aku terjatuh di lantai, dan ia memukul
wajahku bertubi-tubi. Dan berkali-kali aku membenturkan kepalanya di dinding.
Terdengar kejam, ‘kan? Tapi inilah aku dan aku. Aku dengan diriku. Ya, Me and
Myself.
“AARGHHH!!!”
geramku mendorong diriku sendiri ke sudut ruangan. Dan menekan bahunya dengan
kedua tanganku. Kini kami sama-sama berdarah-darah. “Kau bukanlah Chaerin..
Sampai kapanpun kau bukanlah Chaerin!!” teriakku dan memukul wajahnya sekali
lagi. Kali ini ia sudah mulai lemah, begitu juga aku. Jantungku berdetak cepat
sekali, nafasku memburu hebat. Sebenarnya aku tak mengerti, aku sedang berusaha
membunuh diriku sendiri?
“Apa
aku yang menang?” tanyaku terduduk di lantai berhadapan dengan diriku yang
tersandar lemas di sudut ruangan. “Aku belum mati..” elaknya sambil tersenyum
licik. Aku menoleh ke samping, dan mengambil pecahan vas bunga di dekatku. Ah,
ini benda yang bagus. Melihat wanita yang terkapar di hadapanku, ia akan mudah
sekali kuhabisi dengan ini. “Say goodbye,”
…
Tiba-tiba
pintu terbuka, dan muncullah Jiyong dengan pakaian rumah sakitnya. “Chaerin!”
panggilnya menghampiriku yang tergeletak kelelahan di lantai. “Apa yang
terjadi?” tanyanya dan berusaha membangunkanku. Wajahnya pucat. “Di-dimana dia?”
gumamku melihat ke sudut ruangan yang bersih, tak ada diriku yang lain ataupun
darahnya. Dan, pakaian yang kukenakan tak ada bercak darah? Luka-luka di
tubuhku hilang? Semuanya sudah kembali seperti semula?
“Gwenchana,
jagiya.. Ia sudah pergi, tenanglah,” ucap Jiyong menarikku dalam pelukannya.
Jagiya? Apa ia baru saja memanggilku dengan ‘Jagiya’? Ini bukan mimpi ‘kan? Dan
dia sudah benar-benar pergi. Everything’s is okay now I guess. “Kau hanya
terlalu terobsesi dengan lagu She’s Gone-ku. Aku yang salah. Mianhae..” ia
memelukku erat dan mengusap-usap kelapaku dengan lembut.
She’s gone,
huh?
It’s my
obsession, huh?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar